Powered By Blogger

Sabtu, 28 April 2012

-neo kolonialisme-

“Salah satu manifestasi
globalisasi dalam bidang
ekonomi, misalnya,
adalah pengalihan
kekayaan alam suatu
negara ke negara lain,
yang setelah diolah
dengan nilai tambah yang
tinggi, kemudian menjual
produk-produk ke negara
asal, sedemikian rupa
sehingga rakyat harus
"membeli jam kerja"
bangsa lain. Ini adalah
penjajahan dalam bentuk
baru, neo-colonialism,
atau dalam pengertian
sejarah kita, suatu "VOC
(Verenigte Oostin-dische
Companie) dengan baju
baru."
Itulah cuplikan pidato
mantan Presiden
Indonesia BJ Habibie di
hadapan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono,
mantan Presiden
Megawati Soekarnoputri,
Ketua MPR Taufik Kiemas
dan hadirin lainnya dalam
peringatan hari lahir
Pancasila 1 Juni 2011 di
gedung DPR/MPR Jakarta.
Pernyataan Habibie ini
menyentil kondisi
Indonesia yang kian
liberal dengan membuka
kran lebar-lebar bagi
masuknya asing
menguasai kekayaan
alam Indonesia. Rakyat
sebagai pemilik sejati
sumber daya alam hanya
menjadi konsumen
terhadap barang milik
mereka sendiri di tanah
mereka sendiri.
Hasil jejak pendapat pro
dan kontra di
www.detiknews.com
mengamini pernyataan
Habibie ini. Sebanyak 87
persen publik setuju,
hanya13 persen yang tak
setuju. Mereka merasakan
apa yang terjadi itu.
Berdasarkan data yang
ada, dominasi asing di
sektor-sektor strategis
seperti keuangan, energi
dan sumber daya mineral,
telekomunikasi, dan
perkebunan adalah
sebuah fakta yang tak
bisa ditolak.
Data penelusuran Kompas
menyebut, per Maret
2011 pihak asing telah
menguasai 50,6 persen
aset perbankan nasional.
Dengan demikian, sekitar
Rp 1.551 trilyun dari total
aset perbankan Rp 3.065
trilyun dikuasai asing.
Secara perlahan porsi
kepemilikan asing terus
bertambah. Per Juni 2008
kepemilikan asing baru
mencapai 47,02 persen.
Hanya 15 bank yang
menguasai pangsa 85
persen. Dari 15 bank itu,
sebagian sudah dimiliki
asing. Dari total 121 bank
umum, kepemilikan asing
ada pada 47 bank dengan
porsi bervariasi.
Terkait keuangan,
asuransi juga didominasi
asing. Dari 45 perusahaan
asuransi jiwa yang
beroperasi di Indonesia,
tak sampai setengahnya
yang murni milik
Indonesia. Kalau
dikelompokkan, dari
asuransi jiwa yang
ekuitasnya di atas Rp 750
milyar hampir semuanya
usaha patungan. Dari sisi
perolehan premi, lima
besarnya adalah
perusahaan asing.
Dominasi itu sangat
tampak di pasar modal/
bursa efek. Total
kepemilikan investor
asing 60-70 persen dari
semua saham perusahaan
yang dicatatkan dan
diperdagangkan di bursa
efek. Di sana bisa dilihat
pula bahwa Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang
telah diprivatisasi,
kepemilikan asing sudah
mencapai 60 persen.
Yang lebih tragis lagi
adalah di sektor sektor
minyak dan gas. Porsi
operator migas nasional
hanya sekitar 25 persen,
selebihnya 75 persen
dikuasai pihak asing. Dari
total 225 blok migas yang
dikelola kontraktor
kontrak kerja sama non
Pertamina, 120 blok
dioperasikan perusahaan
asing, hanya 28 blok yang
dioperasikan perusahaan
nasional, serta sekitar 77
blok dioperasikan
perusahaan gabungan
asing dan lokal. Di
perusahaan patungan itu
porsi asing pun cukup
besar.
Data Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral
pada 2009, dari total
produksi minyak di
Indonesia, Pertamina
hanya memproduksi 13,8
persen. Sisanya dikuasai
swasta asing seperti
Chevron (41 persen), Total
E&P Indonesie (10 persen)
, Conoco Philips (3,6
persen) dan CNOOC (4,6
persen).
Data lain mengungkap
lebih rinci penguasaan
ladang minyak dan gas di
Indonesia oleh asing
tersebut. Tercatat dari 60
kontraktor, lima di
antaranya dalam kategori
super major, yakni Exxon
Mobil, Shell Penzoil, Total
Fina EIf, BP Amoco Arco,
dan Chevron Texaco. Lima
perusahaan ini menguasai
cadangan minyak 70
persen dan gas 80 persen.
Selebihnya masuk
kategori major, seperti
Conoco, Repsol, Unocal,
Santa Fe, Gulf, Premier,
Lasmo, Inpex, Japex.
Perusahaan ini menguasai
cadangan minyak 18
persen dan gas 15 persen.
Perusahaan independen
hanya menguasai
cadangan minyak 12
persen dan gas 5 persen.
Diperkirakan hasil dari
mengeruk kekayaan alam
Indonesia mencapai 1.655
milyar dolar AS atau 14,3
ribu trilyun/tahun. Ini
jauh lebih besar
dibandingkan total utang
pemerintah Indonesia
hingga April 2011 yang
mencapai Rp 1.697,44
trilyun.
Tidak hanya di hulu,
perusahaan migas asing
ini pun mulai merambah
ke sektor hilir. Beberapa
perusahaan asing seperti
Shell, Total dan Petronas
telah menancapkan
kukunya dengan
membangun SPBU di
lokasi-lokasi strategis.
Setidaknya ada 105
perusahaan migas asing
yang memperoleh izin
mendirikan SPBU. Bahkan
pemerintah memberikan
kesempatan kepada
masing-masing
perusahaan untuk
membuka sekitar 20 ribu
SPBU di seluruh Indonesia.
Di sektor telekomunikasi,
perusahaan asing
mendominasi perusahaan
telekomunikasi. Bahkan
perusahaan negara yang
sangat vital dalam
lalulintas data yakni
Indosat, 70,14 persen
sahamnya dimiliki asing.
Porsi asing di perusahaan
telekomunikasi lainnya
cukup besar. SmartFren
Telecom 23,91 persen,
Telkomsel 35 persen,
Hutchinson 60 persen, Xl
Axiata 80 persen, dan
Natrindo 95 persen.
Asing kini pun mulai
merambah sektor
perkebunan, khususnya
kelapa sawit. Guthrie Bhd
(Malaysia) 167.908 Ha.
Wilmar International
Group (Singapura) 85.000
ha, Hindoli - Cargill (AS)
63.455 ha, Kuala Lumpur
Kepong Bhd (Malaysia)
45.714 ha, SIPEF Group
(Belgia) 30.952 ha,
Golden Hope Group
(Malaysia) 12.810 ha
(Kompas, 23/5).
Di luar itu, produk-produk
Cina membanjiri pasar
Indonesia. Semua produk
Cina dari mulai jarum,
peniti, hingga pesawat
terbang masuk Indonesia
tanpa bisa lagi
dikendalikan.
Meski data sedemikian
gamblang, pemerintah
menyatakan secara
keseluruhan tidak ada
dominasi asing di
Indonesia. Lalu apa dong?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar