Powered By Blogger

Sabtu, 28 April 2012

-sedih dan bahagia....

Syahdan, di Madinah, tinggallah
seorang pemuda bernama
Zulebid. Dikenal sebagai pemuda
yang baik di kalangan para
sahabat. Juga dalam hal
ibadahnya termasuk orang yang rajin dan taat. Dari sudut
ekonomi dan finansial, ia pun
tergolong berkecukupan. Sebagai
seorang yang telah dianggap
mampu, ia hendak melaksanakan
sunnah Rasul yaitu menikah. Beberapa kali ia meminang gadis
di kota itu, namun selalu ditolak
oleh pihak orang tua ataupun
sang gadis dengan berbagai
alasan. Akhirnya pada suatu pagi, ia
menumpahkan kegalauan
tersebut kepada sahabat yang
dekat dengan Rasulullah. “Coba engkau temui langsung Baginda Nabi, semoga engkau
mendapatkan jalan keluar yang
terbaik bagimu”, nasihat mereka. Zulebid kemudian mengutarakan
isi hatinya kepada Baginda Nabi.
Sambil tersenyum beliau berkata: “Maukah engkau saya nikahkan dengan putri si Fulan?” “Seandainya itu adalah saran darimu, saya terima. Ya
Rasulullah, putri si Fulan itu
terkenal akan kecantikan dan
keshalihannya, dan hingga kini
ayahnya selalu menolak lamaran
dari siapapun.” “Katakanlah aku yang mengutusmu”, sahut Baginda Nabi. “Baiklah ya Rasul”, dan Zulebid segera bergegas bersiap dan
pergi ke rumah si Fulan. Sesampai di rumah Fulan, Zulebid
disambut sendiri oleh Fulan “Ada keperluan apakah hingga saudara datang ke rumah
saya?” Tanya Fulan. “Rasulullah saw yang mengutus saya ke sini, saya hendak
meminang putrimu si A.” Jawab Zulebid sedikit gugup. “Wahai anak muda, tunggulah sebentar, akan saya tanyakan
dulu kepada putriku.” Fulan menemui putrinya dan bertanya,
“bagaimana pendapatmu wahai putriku?” Jawab putrinya, “Ayah, jika memang ia datang karena diutus
oleh Rasulullah saw, maka
terimalah lamarannya, dan aku
akan ikhlas menjadi istrinya.” Akhirnya pagi itu juga,
pernikahan diselenggarakan
dengan sederhana. Zulebid
kemudian memboyong istrinya ke
rumahnya. Sambil memandangi wajah
istrinya, ia berkata,” Duhai Dinda yang di wajahnya terlukiskan
kecantikan bidadari, apakah ini
yang engkau idamkan selama ini?
Bahagiakah engkau dengan
memilihku menjadi suamimu?” Jawab istrinya, “Engkau adalah lelaki pilihan rasul yang datang
meminangku. Tentu Allah telah
menakdirkan yang terbaik
darimu untukku. Tak ada
kebahagiaan selain menanti
tibanya malam yang dinantikan para pengantin.” Zulebid tersenyum. Dipandanginya
wajah indah itu ketika kemudian
terdengar pintu rumah diketuk.
Segera ia bangkit dan membuka
pintu. Seorang laki-laki
mengabarkan bahwa ada panggilan untuk berkumpul di
masjid, panggilan berjihad dalam
perang. Zulebid masuk kembali ke rumah
dan menemui istrinya. “Duhai istriku yang senyumannya menancap hingga
ke relung batinku, demikian
besar tumbuhnya cintaku
kepadamu, namun panggilan Allah
untuk berjihad melebihi semua
kecintaanku itu. Aku mohon keridhaanmu sebelum
keberangkatanku ke medan
perang. Kiranya Allah mengetahui
semua arah jalan hidup kita ini.” Istrinya menyahut, “Pergilah suamiku, betapa besar pula
bertumbuhnya kecintaanku
kepadamu, namun hak Yang
Maha Adil lebih besar
kepemilikannya terhadapmu. Doa
dan ridhaku menyertaimu” *** Zulebid lalu bersiap dan
bergabung bersama tentara
muslim menuju ke medan perang.
Gagah berani ia mengayunkan
pedangnya, berkelebat dan
berdesing hingga beberapa orang musuh pun tewas
ditangannya. Ia bertarung
merangsek terus maju sambil
senantiasa mengumandangkan
kalimat Tauhid. Ketika sebuah
anak panah dari arah depan tak sempat dihindarinya. Menancap
tepat di dadanya. Zulebid
terjatuh, berusaha menghindari
anak panah lainnya yang
berseliweran di udara. Ia merasa
dadanya mulai sesak, nafasnya tak beraturan, pedangnya pun
mulai terkulai terlepas dari
tangannya. Sambil bersandar di
antara tumpukan korban, ia
merasa panggilan Allah sudah
begitu dekat. Terbayang wajah kedua orangtuanya yang begitu
dikasihinya. Teringat akan masa
kecilnya bersama-sama
saudaranya. Berlari-larian
bersama teman sepermainannya.
Berganti bayangan wajah Rasulullah yang begitu dihormati,
dijunjung dan dikaguminya.
Hingga akhirnya bayangan
rupawan istrinya. Istrinya yang
baru dinikahinya pagi tadi.
Senyum yang begitu manis menyertainya tatkala ia
berpamitan. Wajah cantik itu
demikian sejuk memandangnya
sambil mendoakannya. Detik demi
detik, syahadat pun terucapkan
dari bibir Zulebid. Perlahan-lahan matanya mulai memejam, senyum
menghiasinya. Zulebid pergi
menghadap Ilahi, gugur sebagai
syuhada. *** Senja datang. Angin mendesau,
sepi. Pasir-pasir beterbangan.
Berputar-putar… Rasulullah dan para sahabat
mengumpulkan syuhada yang
gugur dalam perang. Di antara
para mujahid tersebut
terdapatlah tubuh Zulebid yang
tengah bersandar di tumpukan mayat musuh. Akhirnya
dikuburkanlah jenazah zulebid di
suatu tempat. Berdampingan
dengan para syuhada lain. Tanpa dimandikan… Tanpa dikafankan… Tanah terakhir ditutupkan ke atas makam
Zulebid. Rasulullah terpekur di
samping pusara tersebut. Para
sahabat terdiam membisu.
Sejenak kemudian terdengar
suara Rasulullah seperti menahan isak tangis. Air mata berlinang
dari pelupuk mata beliau. Lalu
beberapa waktu kemudian beliau
seolah-olah menengadah ke atas
sambil tersenyum. Wajah beliau
berubah menjadi cerah. Belum hilang keheranan sahabat, tiba-
tiba Rasulullah menolehkan
pandangannya ke samping
seraya menutupkan tangan
menghalangi arah pandangan
mata beliau. Akhirnya keadaan kembali
seperti semula. Para shahabat
lalu bertanya-tanya, ada apa
dengan Rasulullah. “Wahai Rasulullah, mengapa di pusara Zulebid engkau
menangis?” Jawab Rasul, “Aku menangis karena mengingat Zulebid. Oo… Zulebid, pagi tadi engaku datang
kepadaku minta restuku untuk
menikah dan engkau pun
menikah hari ini juga. Ini hari
bahagia. Seharusnya saat ini
Engkau sedang menantikan malam Zafaf, malam yang
ditunggu oleh para pengantin.” “Lalu mengapa kemudian Engkau menengadah dan tersenyum?” Tanya sahabat lagi. “Aku menengadah karena kulihat beberapa bidadari turun
dari langit dan udara menjadi
wangi semerbak dan aku
tersenyum karena mereka
datang hendak menjemput
Zulebid,” Jawab Rasulullah. “Dan lalu mengapa kemudian Engkau memalingkan
pandangannya dan menoleh ke
samping?” Tanya mereka lagi. “Aku mengalihkan pandangan menghindar karena sebelumnya
kulihat, saking banyaknya
bidadari yang menjemput Zulebid,
beberapa diantaranya berebut
memegangi tangan dan kaki
Zulebid. Hingga dari salah satu gaun dari bidadari tersebut ada
yang sedikit tersingkap
betisnya.” *** Jikalau memang Allah telah
menakdirkan.
Terlalu istimewa yang Allah
hadiahkan atas kehadiranmu
untukku.
Hingga kupikir,,, terlalu tamak jika kelak
memilikimu seorang diri
selamanya.
Suatu saat nanti… Jikalau kau siap,
carikanlah Mujahidah Sejati yang
juga pantas dapatkan cintamu,
untuk kujadikan sahabat dirumah
kita,,, Subhanallah…. kubayangkan berbagi itu begitu
indah… sebuah keluarga yang berporos
pada DAKWAH… Wahai calon mujahidku, disini ku
menunggumu… Sambil menghias seindah mungkin
rumah kita… Kurasakan angin mengantar
debu atas derap langkah pacuan
kudamu… Ku yakin kau kan segera tiba… wahai Jundullah… ****** Di rumah, istri Zulebid menanti
sang suami yang tak kunjung
kembali. Ketika terdengar kabar
suaminya telah menghadap sang
Ilahi Rabbi, Pencipta segala Maha
Karya. Malam menjelang. Terlelap ia, sejenak berada dalam
keadaan setengah mimpi dan
nyata. Lamat-lamat ia seperti
melihat Zulebid datang dari
kejauhan. Tersenyum, namun
wajahnya menyiratkan kesedihan pula. Terdengar Zulebid berkata,
“Istriku, aku baik-baik saja. Aku menunggumu disini. Engkaulah
bidadari sejatiku. Semua bidadari
disini apabila aku menyebut
namamu akan menggumamkan
cemburu padamu. Dan kan
kubiarkan engkau yang tercantik di hatiku.” Istri Zulebid, terdiam. Matanya
basah. Ada sesuatu yang
menggenang disana. Seperti tak
lepas ia mengingat acara
pernikahan tadi pagi. Dan
bayangan suaminya yang baru saja hadir. Ia menggerakkan
bibirnya. “Suamiku, aku mencintaimu. Dan dengan semua
ketentuan Allah ini bagi kita. Aku
ikhlas.” *** Somewhere over the rainbow,
way up high
There’ s a land that I heard of once on a lullaby
Somewhere over the rainbow,
skied are blue
And the dreams that you dare
to dream
really do come true. Dan,
Akan kemanakah kumbang
terbang
Pada siapa rindu mendendam
Kekasih yang terkasih
Pencinta dan yang dicinta Semua berurai air mata
Sedih, ataukah bahagia

1 komentar: