Powered By Blogger

Sabtu, 28 April 2012

-JILBAB BUKAN HANYA SEKEDAR PENUTUP KEPALA SAJA-

Banyak kesalahpahaman
terhadap Islam di tengah
masyarakat. Misalnya saja
jilbab. Tak sedikit orang
menyangka bahwa yang
dimaksud dengan jilbab
adalah kerudung. Padahal
tidak demikian. Jilbab
bukan kerudung.
Kerudung dalam Al Qur`an
surah An Nuur : 31 disebut
dengan istilah khimar
(jamaknya : khumur),
bukan jilbab. Adapun
jilbab yang terdapat
dalam surah Al Ahzab : 59,
sebenarnya adalah baju
longgar yang menutupi
seluruh tubuh perempuan
dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain
yang sering dijumpai
adalah anggapan
bahwa busana
muslimah itu yang
penting sudah
menutup aurat,
sedang mode baju
apakah terusan atau
potongan, atau
memakai celana
panjang, dianggap
bukan masalah.
Dianggap, model
potongan atau
bercelana panjang
jeans oke-oke saja,
yang penting ‘kan
sudah menutup aurat.
Kalau sudah menutup
aurat, dianggap sudah
berbusana muslimah
secara sempurna.
Padahal tidak begitu.
Islam telah menetapkan
syarat-syarat bagi busana
muslimah dalam
kehidupan umum, seperti
yang ditunjukkan oleh
nash-nash Al Qur`an dan
As Sunnah. Menutup aurat
itu hanya salah satu
syarat, bukan satu-
satunya syarat busana
dalam kehidupan umum.
Syarat lainnya misalnya
busana muslimah tidak
boleh menggunakan
bahan tekstil yang
transparan atau mencetak
lekuk tubuh perempuan.
Dengan demikian,
walaupun menutup aurat
tapi kalau mencetak
tubuh alias ketat –atau
menggunakan bahan
tekstil yang transparan–
tetap belum dianggap
busana muslimah yang
sempurna.
Karena itu,
kesalahpahaman
semacam itu perlu
diluruskan, agar kita
dapat kembali kepada
ajaran Islam secara murni
serta bebas dari pengaruh
lingkungan, pergaulan,
atau adat-istiadat rusak di
tengah masyarakat
sekuler sekarang.
Memang, jika kita
konsisten dengan Islam,
terkadang terasa amat
berat. Misalnya saja
memakai jilbab (dalam
arti yang sesungguhnya).
Di tengah maraknya
berbagai mode busana
wanita yang diiklankan
trendi dan up to date,
jilbab secara kontras jelas
akan kelihatan ortodoks,
kaku, dan kurang trendi
(dan tentu, tidak seksi).
Padahal, busana jilbab
itulah pakaian yang benar
bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah
diuji. Diuji imannya, diuji
taqwanya. Di sini dia
harus memilih, apakah dia
akan tetap teguh
mentaati ketentuan Allah
dan Rasul-Nya, seraya
menanggung perasaan
berat hati namun berada
dalam keridhaan Allah,
atau rela terseret oleh
bujukan hawa nafsu atau
rayuan syaitan terlaknat
untuk mengenakan
mode-mode liar yang
dipropagandakan kaum
kafir dengan tujuan agar
kaum muslimah
terjerumus ke dalam
limbah dosa dan
kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi
SAW pernah bersabda
bahwa akan tiba suatu
masa di mana Islam akan
menjadi sesuatu yang
asing –termasuk busana
jilbab– sebagaimana awal
kedatangan Islam. Dalam
keadaan seperti itu, kita
tidak boleh larut. Harus
tetap bersabar, dan
memegang Islam dengan
teguh, walaupun berat
seperti memegang bara
api. Dan in sya-allah,
dalam kondisi yang rusak
dan bejat seperti ini,
mereka yang tetap taat
akan mendapat pahala
yang berlipat ganda.
Bahkan dengan pahala
lima puluh kali lipat
daripada pahala para
shahabat.
Sabda Nabi SAW :
“Islam bermula dalam
keadaan asing. Dan ia
akan kembali menjadi
sesuatu yang asing. Maka
beruntunglah orang-orang
yang terasing itu.” (HR.
Muslim no. 145)
“Sesungguhnya di
belakang kalian ada hari-
hari yang memerlukan
kesabaran. Kesabaran
pada masa-masa itu
bagaikan memegang bara
api. Bagi orang yang
mengerjakan suatu
amalan pada saat itu akan
mendapatkan pahala lima
puluh orang yang
mengerjakan semisal
amalan itu. Ada yang
berkata,’Hai Rasululah,
apakah itu pahala lima
puluh di antara mereka ?”
Rasululah SAW
menjawab,”Bahkan lima
puluh orang di antara
kalian (para shahabat)
.” (HR. Abu Dawud,
dengan sanad hasan)
2. Aurat dan Busana
Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang
sering dicampuradukkan
yang sebenarnya
merupakan masalah-
masalah yang berbeda-
beda.
Pertama, masalah batasan
aurat bagi wanita.
Kedua, busana muslimah
dalam kehidupan khusus
(al hayah al khashshash),
yaitu tempat-tempat di
mana wanita hidup
bersama mahram atau
sesama wanita, seperti
rumah-rumah pribadi,
atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah
dalam kehidupan umum
(al hayah ‘ammah), yaitu
tempat-tempat di mana
wanita berinteraksi
dengan anggota
masyarakat lain secara
umum, seperti di jalan-
jalan, sekolah, pasar,
kampus, dan sebagainya.
Busana wanita muslimah
dalam kehidupan umum
ini terdiri dari jilbab dan
khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah
seluruh anggota tubuhnya
kecuali wajah dan dua
telapak tangannya.
Lehernya adalah aurat,
rambutnya juga aurat
bagi orang yang bukan
mahram, meskipun cuma
selembar. Seluruh tubuh
kecuali wajah dan dua
telapak tangan adalah
aurat yang wajib ditutup.
Hal ini berlandaskan
firman Allah SWT :
‘Dan janganlah mereka
menampakkan
perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari
padanya.’ (QS An Nuur :
31)
Yang dimaksud “wa laa
yubdiina
ziinatahunna” (janganlah
mereka menampakkan
perhiasannya), adalah
“wa laa yubdiina mahalla
ziinatahinna” (janganlah
mereka menampakkan
tempat-tempat (anggota
tubuh) yang di situ
dikenakan perhiasan).
(Lihat Abu Bakar Al-
Jashshash, Ahkamul
Qur`an, Juz III hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa
zhahara minha” (kecuali
yang (biasa) nampak dari
padanya). Jadi ada
anggota tubuh yang boleh
ditampakkan. Anggota
tubuh tersebut, adalah
wajah dan dua telapak
tangan. Demikianlah
pendapat sebagian
shahabat, seperti ‘Aisyah,
Ibnu Abbas, dan Ibnu
Umar (Al-Albani, 2001 :
66). Ibnu Jarir Ath-Thabari
(w. 310 H) berkata dalam
kitab tafsirnya Jami’ Al-
Bayan fi Tafsir Al-Qur`an
Juz XVIII hal. 84, mengenai
apa yang dimaksud
dengan “kecuali yang
(biasa) nampak dari
padanya” (illaa maa
zhahara minha) :
“Pendapat yang paling
mendekati kebenaran
adalah yang
mengatakan,’Yang
dimaksudkan adalah
wajah dan dua telapak
tangan.” Pendapat yang
sama juga dinyatakan
Imam Al-Qurthubi dalam
kitab tafsirnya Al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur`an, Juz XII
hal. 229 (Al-Albani, 2001 :
50 & 57).
Jadi, yang dimaksud
dengan apa yang nampak
dari padanya adalah
wajah dan dua telapak
tangan. Sebab kedua
anggota tubuh inilah yang
biasa nampak dari
kalangan muslimah di
hadapan Nabi SAW
sedangkan beliau
mendiamkannya. Kedua
anggota tubuh ini pula
yang nampak dalam
ibadah-ibadah seperti haji
dan shalat. Kedua anggota
tubuh ini biasa terlihat di
masa Rasulullah SAW,
yaitu di masa masih
turunnya ayat Al Qur`an
(An-Nabhani, 1990 : 45).
Di samping itu terdapat
alasan lain yang
menunjukkan
bahwasanya seluruh
tubuh wanita adalah aurat
kecuali wajah dan dua
telapak tangan karena
sabda Rasulullah SAW
kepada Asma` binti Abu
Bakar :
‘Wahai Asma`
sesungguhnya seorang
wanita itu apabila telah
baligh (haidl) maka tidak
boleh baginya
menampakkan tubuhnya
kecuali ini dan ini, seraya
menunjukkan wajah dan
telapak tangannya.’ (HR.
Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang
menunjukkan dengan
jelas bahwasanya seluruh
tubuh wanita itu adalah
aurat, kecuali wajah dan
dua telapak tangannya.
Maka diwajibkan atas
wanita untuk menutupi
auratnya, yaitu menutupi
seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan telapak
tangannya.
b. Busana Muslimah dalam
Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa
seorang muslimah
menutupi aurat tersebut,
maka di sini syara’ tidak
menentukan bentuk/
model pakaian tertentu
untuk menutupi aurat,
akan tetapi membiarkan
secara mutlak tanpa
menentukannya dan
cukup dengan
mencantumkan lafadz
dalam firman-Nya (QS An
Nuur : 31) “wa laa
yubdiina” (Dan janganlah
mereka menampakkan)
atau sabda Nabi SAW “lam
yashluh an yura
minha” (tidak boleh
baginya menampakkan
tubuhnya) (HR. Abu
Dawud). Jadi, pakaian
yang menutupi seluruh
auratnya kecuali wajah
dan telapak tangan
dianggap sudah menutupi,
walau bagaimana pun
bentuknya. Dengan
mengenakan daster atau
kain yang panjang juga
dapat menutupi, begitu
pula celana panjang, rok,
dan kaos juga dapat
menutupinya. Sebab
bentuk dan jenis pakaian
tidak ditentukan oleh
syara’.
Berdasarkan hal ini maka
setiap bentuk dan jenis
pakaian yang dapat
menutupi aurat, yaitu
yang tidak menampakkan
aurat dianggap sebagai
penutup bagi aurat secara
syar’i, tanpa melihat lagi
bentuk, jenis, maupun
macamnya.
Namun demikian syara’
telah mensyaratkan
dalam berpakaian agar
pakaian yang dikenakan
dapat menutupi kulit. Jadi
pakaian harus dapat
menutupi kulit sehingga
warna kulitnya tidak
diketahui. Jika tidak
demikian, maka dianggap
tidak menutupi aurat.
Oleh karena itu apabila
kain penutup itu tipis/
transparan sehingga
nampak warna kulitnya
dan dapat diketahui
apakah kulitnya berwarna
merah atau coklat, maka
kain penutup seperti ini
tidak boleh dijadikan
penutup aurat.
Mengenai dalil
bahwasanya syara’ telah
mewajibkan menutupi
kulit sehingga tidak
diketahui warnanya,
adalah hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah
RA bahwasanya Asma`
binti Abubakar telah
masuk ke ruangan Nabi
SAW dengan berpakaian
tipis/transparan, lalu
Rasulullah SAW berpaling
seraya bersabda :
‘Wahai Asma`
sesungguhnya seorang
wanita itu apabila telah
baligh (haidl) tidak boleh
baginya untuk
menampakkan tubuhnya
kecuali ini dan ini.’ (HR.
Abu Dawud)
Jadi Rasulullah SAW
menganggap kain yang
tipis itu tidak menutupi
aurat, malah dianggap
menyingkapkan aurat.
Oleh karena itu lalu Nabi
SAW berpaling seraya
memerintahkannya
menutupi auratnya, yaitu
mengenakan pakaian
yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat
dalam hadits riwayat
Usamah bin Zaid,
bahwasanya ia ditanyai
oleh Nabi SAW tentang
Qibtiyah (baju tipis) yang
telah diberikan Nabi SAW
kepada Usamah. Lalu
dijawab oleh Usamah
bahwasanya ia telah
memberikan pakaian itu
kepada isterinya, maka
Rasulullah SAW bersabda
kepadanya :
‘Suruhlah isterimu
mengenakan baju dalam
di balik kain Qibtiyah itu,
karena sesungguhnya aku
khawatir kalau-kalau
nampak lekuk tubuhnya.
’(HR. Ahmad dan Al-
Baihaqi, dengan sanad
hasan. Dikeluarkan oleh
Adh-Dhiya’ dalam kitab
Al-Ahadits Al-Mukhtarah,
Juz I hal. 441) (Al-Albani,
2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai
kain tipis. Oleh karena itu
tatkala Rasulullah SAW
mengetahui bahwasanya
Usamah memberikannya
kepada isterinya, beliau
memerintahkan agar
dipakai di bagian dalam
kain supaya tidak
kelihatan warna kulitnya
dilihat dari balik kain tipis
itu, sehingga beliau
bersabda : ‘Suruhlah
isterimu mengenakan
baju dalam di balik kain
Qibtiyah itu.’
Dengan demikian kedua
hadits ini merupakan
petunjuk yang sangat
jelas bahwasanya syara’
telah mensyaratkan apa
yang harus ditutup, yaitu
kain yang dapat menutupi
kulit. Atas dasar inilah
maka diwajibkan bagi
wanita untuk menutupi
auratnya dengan pakaian
yang tidak tipis
sedemikian sehingga
tidak tergambar apa yang
ada di baliknya.
c. Busana Muslimah dalam
Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di
atas adalah topik
mengenai penutupan
aurat wanita dalam
kehidupan khusus. Topik
ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan
pakaian wanita dalam
kehidupan umum, dan
tidak dapat pula
dicampuradukkan dengan
masalah tabarruj pada
sebagian pakaian-pakaian
wanita.
Jadi, jika seorang wanita
telah mengenakan
pakaian yang menutupi
aurat, tidak berarti lantas
dia dibolehkan
mengenakan pakaian itu
dalam kehidupan umum,
seperti di jalanan umum,
atau di sekolah, pasar,
kampus, kantor, dan
sebagainya. Mengapa ?
Sebab untuk kehidupan
umum terdapat pakaian
tertentu yang telah
ditetapkan oleh syara’.
Jadi dalam kehidupan
umum tidaklah cukup
hanya dengan menutupi
aurat, seperti misalnya
celana panjang, atau baju
potongan, yang
sebenarnya tidak boleh
dikenakan di jalanan
umum meskipun dengan
mengenakan itu sudah
dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang
mengenakan celana
panjang atau baju
potongan memang dapat
menutupi aurat. Namun
tidak berarti kemudian
pakaian itu boleh dipakai
di hadapan laki-laki yang
bukan mahram, karena
dengan pakaian itu ia
telah menampakkan
keindahan tubuhnya
(tabarruj). Tabarruj
adalah, menempakkan
perhiasan dan keindahan
tubuh bagi laki-laki asing/
non-mahram (izh-haruz
ziinah wal mahasin lil
ajaanib) (An-Nabhani,
1990 : 104). Oleh karena
itu walaupun ia telah
menutupi auratnya, akan
tetapi ia telah bertabarruj,
sedangkan tabarruj
dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam
kehidupan umum ada 2
(dua), yaitu baju bawah
(libas asfal) yang disebut
dengan jilbab, dan baju
atas (libas a’la) yaitu
khimar (kerudung) .
Dengan dua pakaian inilah
seorang wanita boleh
berada dalam kehidupan
umum, seperti di kampus,
supermarket, jalanan
umum, kebun binatang,
atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian
jilbab ? Dalam kitab Al
Mu’jam Al Wasith karya
Dr. Ibrahim Anis (Kairo :
Darul Maarif) halaman
128, jilbab diartikan
sebagai “Ats tsaubul
musytamil ‘alal jasadi
kullihi” (pakaian yang
menutupi seluruh tubuh),
atau “Ma yulbasu fauqa
ats tsiyab kal milhafah” .
Untuk baju atas,
disyariatkan khimar, yaitu
kerudung atau apa saja
yang serupa dengannya
yang berfungsi menutupi
seluruh kepala, leher, dan
lubang baju di dada.
Pakaian jenis ini harus
dikenakan jika hendak
keluar menuju pasar-pasar
atau berjalan melalui
jalanan umum (An-
Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah
mengenakan kedua jenis
pakaian ini (jilbab dan
khimar) dibolehkan
baginya keluar dari
rumahnya menuju pasar
atau berjalan melalui
jalanan umum, yaitu
menuju kehidupan umum.
Akan tetapi jika ia tidak
mengenakan kedua jenis
pakaian ini maka dia tidak
boleh keluar dalam
keadaan apa pun, sebab
perintah yang
menyangkut kedua jenis
pakaian ini datang dalam
bentuk yang umum, dan
tetap dalam
keumumannya dalam
seluruh keadaan, karena
tidak ada dalil yang
mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya
mengenakan dua jenis
pakaian ini, karena firman
Allah SWT mengenai
pakaian bagian bagian
atas (khimar/kerudung) :
‘Hendaklah mereka
menutupkan kain
kerudung ke dadanya,
dan janganlah
menampakkan
perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari
padanya.’ (QS An Nuur :
31)
Dan karena firman Allah
SWT mengenai pakaian
bagian bawah (jilbab) :
‘Wahai Nabi katakanlah
kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang
mu’min: ‘Hendaklah
mereka mengulurkan
jilbabnya.’ (QS Al Ahzab :
59)
Adapun dalil bahwa jilbab
merupakan pakaian
dalam kehidupan umum,
adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ummu
‘Athiah RA, bahwa dia
berkata :
‘Rasulullah SAW
memerintahkan kaum
wanita agar keluar rumah
menuju shalat Ied, maka
Ummu ‘Athiyah
berkata,’Salah seorang di
antara kami tidak
memiliki jilbab?” Maka
Rasulullah SAW
menjawab: ‘Hendaklah
saudarinya meminjamkan
jilbabnya kepadanya
!’(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-
Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits
Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh
Anwar Al-Kasymiri, dalam
kitabnya Faidhul Bari, Juz I
hal. 388, mengatakan :
“Dapatlah dimengerti dari
hadits ini, bahwa jilbab itu
dituntut manakala
seorang wanita keluar
rumah, dan ia tidak boleh
keluar [rumah] jika tidak
mengenakan jilbab.” (Al-
Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi
menjelaskan adanya suatu
petunjuk mengenai
pakaian wanita dalam
kehidupan umum. Allah
SWT telah menyebutkan
sifat pakaian ini dalam
dua ayat di atas yang
telah diwajibkan atas
wanita agar dikenakan
dalam kehidupan umum
dengan perincian yang
lengkap dan menyeluruh.
Kewajiban ini dipertegas
lagi dalam hadits dari
Ummu ‘Athiah RA di atas,
yakni kalau seorang
wanita tak punya jilbab –
untuk keluar di lapangan
sholat Ied (kehidupan
umum)—maka dia harus
meminjam kepada
saudaranya (sesama
muslim). Kalau tidak
wajib, niscaya Nabi SAW
tidak akan
memerintahkan wanita
mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan
tidak boleh potongan,
tetapi harus terulur
sampai ke bawah sampai
menutup kedua kaki,
sebab Allah SWT
mengatakan : “yudniina
‘alaihinna min
jalabibihinna” (Hendaklah
mereka mengulurkan
jilbab-jilbab mereka.).
Dalam ayat tersebut
terdapat kata “yudniina”
yang artinya adalah
yurkhiina ila asfal
(mengulurkan sampai ke
bawah/kedua kaki).
Penafsiran ini –yaitu
idnaa` berarti irkhaa` ila
asfal– diperkuat dengan
dengan hadits Ibnu Umar
bahwa dia berkata,
Rasulullah SAW telah
bersabda :
“Barang siapa yang
melabuhkan/menghela
bajunya karena sombong,
maka Allah tidak akan
melihatnya pada Hari
Kiamat nanti.’ Lalu Ummu
Salamah berkata,’Lalu apa
yang harus diperbuat
wanita dengan ujung-
ujung pakaian mereka (bi
dzuyulihinna).” Nabi SAW
menjawab,’Hendaklah
mereka mengulurkannya
(yurkhiina) sejengkal
(syibran)’(yakni dari
separoh betis). Ummu
Salamah menjawab,’Kalau
begitu, kaki-kaki mereka
akan tersingkap.’ Lalu
Nabi
menjawab,’Hendaklah
mereka mengulurkannya
sehasta (fa yurkhiina
dzira`an) dan jangan
mereka menambah lagi
dari itu.” (HR. At-Tirmidzi
Juz III, hal. 47; hadits
sahih) (Al-Albani, 2001 :
89)
Hadits di atas dengan jelas
menunjukkan bahwa
pada masa Nabi SAW,
pakaian luar yang
dikenakan wanita di atas
pakaian rumah –yaitu
jilbab– telah diulurkan
sampai ke bawah hingga
menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah
terusan, bukan potongan.
Sebab kalau potongan,
tidak bisa terulur sampai
bawah. Atau dengan kata
lain, dengan pakaian
potongan seorang wanita
muslimah dianggap belum
melaksanakan perintah
“yudniina ‘alaihinna min
jalaabibihina” (Hendaklah
mereka mengulurkan
jilbab-jilbabnya). Di
samping itu kata min
dalam ayat tersebut
bukan min lit tab’idh
(yang menunjukkan arti
sebagian) tapi merupakan
min lil bayan
(menunjukkan penjelasan
jenis). Jadi artinya
bukanlah “Hendaklah
mereka mengulurkan
sebagian jilbab-jilbab
mereka” (sehingga boleh
potongan), melainkan
Hendaklah mereka
mengulurkan jilbab-jilbab
mereka (sehingga jilbab
harus terusan).(An-
Nabhani, 1990 : 45-51)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar