Miskin atau Kaya, Yang Penting Tetap Sederhana
Senin, 06 Februari 2012
SELAIN sebagai
negarawan yang cakap, Umar bin Khattab juga dikenal sebagai seorang
yang zuhud. Keberhasilannya dalam mengantarkan rakyat dan bangsanya
memasuki gerbang kehidupan yang lebih baik, tidak mengubah sikap dan
pola hidupnya. Ia tetap Umar yang dulu, yang sederhana dan bersahaja.
Pada masa Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و
سلم) ummat Islam hidup selalu pas-pasan, jika tidak boleh disebut
berkekurangan. Bagaimana tidak, sedang negara Madinah, yang baru saja
dimerdekakan harus menghadapi berbagai berbagai rongrongan musuh yang
tidak senang akan kejayaan Islam. Oleh karenanya wajar jika pembangunan
fisik, kurang mendapatkan sentuhan, bahkan nyaris tidak terurus.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar bisa dibilang hampir sama, kecuali
ada sedikit kemajuan. Wilayah Islam mulai berkembang, merambah ke
berbagai wilayah yang berdekatan. Akan tetapi musuh Abu Bakar tidak
sedikit. Ia harus menghadapi para pembangkang yang keluar dari Islam.
Jumlah mereka tidak kecil, demikian juga kekuatannya. Alhamdulillah
musuh-musuh Islam itu telah berhasil dilenyapkan oleh Abu Bakar. Dengan
gambaran kondisi di atas adalah wajar jika dalam pemerintahan Abu Bakar,
kesejahteraan ummat dalam bidang materi belum bisa dihitung, walaupun
sedikit ada kemajuan.
Pada pemerintahan Umar, wilayah Islam terus berkembang. Tidak saja
terbatas di jazirah Arab, tetapi juga meliputi bangsa-bangsaa asing,
bahkan telah menyeberang ke Eropa. Satu persatu kekuasaan kafir berhasil
ditundukkan. Termasuk kerajaan Parsi yang sudah sangat maju dan tinggi
peradabannya.
Tentu saja perubahan besasr terjadi di kalangan ummat Islam. Harta
kekayaan melimpah, ummat banyak, dan kekuatan militer besar dan
terlatih. Poros dunia mulai bergeser dari dua super power – Roma dan
Persia – ke dunia baru Islam, yang berpusat di Madinah.
Bagi
kebanyakan ummat yang tidak langsung mendapatkan bimbingan dari
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), perubahan
di bidang materi ini tentu saja bisa mengubah sikap mentalnya. Jika
biasanya hidup dalam berkesahajaan, kini mulai ikut-ikutan cara baru
sebagaimana layaknya penduduk negeri-negeri yang telah ditaklukkan.
Mulai dari gaya berpakaian sampai ke gaya hidup.
Di tengah perubahan besar seperti ini, sebagai sosok pemimpin dengan
kekuasaan yang amat besar, Umar, tetap menunjukkan sikap dan perilaku
yang sama. Tidak ada sedikitpun yang berubah pada diri Umar, termasuk
dalam memandang harta. Ia tak tergiur sedikitpun terhadap harta,
walaupun harta itu telah ada di depan matanya. Jangankan korupsi,
mengambil haknya sendiri saja ia masih enggan.
Sangat wajar dan rasional jika Umar mendapatkan gaji lebih besar
daripada Abu Bakar, sebab pada saat ia memimpin, luas wilayahnya
membengkak beberapa kali lipat, pendapatan negara juga melonjak,
kesejahteraan rakyat juga meningkat. Akan tetapi Umar ternyata memilih
gaji yang sama seperti yang diterima oleh kepala negara sebelumnya.
Padahal harga-harga kebutuhan pokok telah meningkat, sementara
kebutuhannya juga semakin banyak.
Orang-orang terdekatnya bukan saja merasa iba, tapi ikut prihatin
atas sikap pemimpinnya. Berkali-kali usulan diajukan untuk menambah
gajinya, tapi selalu ditolaknya.
Tentang kezuhudan Umar bin Khattab
ini, Ibnu Asakir menceritakan sebuah atsr dari Hasan Basri. Ia berkata,
“Ketika aku mendatangi suatu majelis di masjid jami’ kota Basra,
kudapatkan sekelompok sahabat Nabi saw yang sedang membicarakan tentang
kezuhudan Abu Bakar dan Umar, di tengah berlimpah-ruahnya kekayaan yang
diperoleh kaum muslimin dari berbagai wilayah yang ditaklukkan.
Ketika mendekati al-Ahnaf bin Qais al-Tamimi ra aku mendengar ia
berkata, “ketika kami diutus oleh Umar ke Persia dan wilayah sekitarnya,
maka kami berhasil mengumpulkan beberapa pakaian yang bagus dari
wilayah-wilayah itu. sewaktu kami menghadap dengan mengenakan
pakaian-pakaian mewah tersebut di hadapan Umar, ia memalingkan wajahnya
dari kami dan menjauh. Sikap tersebut menjadikan para sahabat Rasulullah
saw merasa takut, sehingga mereka mengadukan masalah ini kepada Ibnu
Umar yang ketika itu berada di masjid. Kata Abdullah Ibnu Umar, “Mungkin
ia marah, karena ketika menghadapnya, kalian sedang berpakaian mewah
yang berbeda dengan keadaan kalian di masa Rasulullah dan Abu Bakar
al-Shiddiq ra.”
Kami segera pulang ke rumah masing-masing dan segera menukar pakaian
mewah dengan pakaian yang biasa kami pakai di masa Rasulullah
Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) dan Abu Bakar. Maka
di saat menghadap Umar dengan pakaian tersebut, ia bangkit menyalami
kami dan merangkul kami seorang demi seorang seolah baru pertama kali
bertemu.
Ketika kami hadapkan kepada Umar semua ghanimah tersebut dengan cara
yang sama di antara kami. Ketika kami haturkan di hadapannya sekaleng
makanan, ia mencicipinya sedikit, kemudian berkata kepada kami, “Wahai
kaum Muhajirin dan Anshar, mungkin dikarenakan makanan sekaleng ini,
seorang anak saling berebut dengan ayah dan saudara-saudaranya. Kemudian
ia menyuruh segera membagikan makanan tersebut kepada anak-anak para
syuhada’. Muhajirin dan Anshar yang ayah-ayahnya gugur di masa
Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) tak lama
kemudian ia bangkit diikuti para sahabat yang lain.
Seusai acara ini para sahabat melanjutkan obroannyaj. Mereka berkata,
“Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, bagaimana kamu lihat kezuhudan orang
ini (Umar) dan pakaian yang disandangnya. Sungguh mengherankan sedangkan
Allah Subhanahu Wata’ala telah melimpahkan rezeki yang berlimpah-ruah
kepada kaum muslimin dan telah menaklukan semua bangsa-bangsa yang
berada di jazirah Arabiyah. Utusan orang-orang Arab dan asing semuanya
berdatangan kepadanya, akan tetapi kami lihat ia menghadapi mereka
dengan memakai jubah satu-satunya yang sudah dihiasi dua belas
tambalan.”
Mereka kemudian melanjutkan rembukannya. Katanya, alangkah baiknya
jika kalian – tokoh-tokoh sahabat yang dekat dengan Umar – mengusulkan
agar ia mau mengganti jubahnya itu dengan pakaian yang lebih baik
sehingga kelihatannya lebih dan lebih tampan, agar ia juga mau
menggantikan piring yang biasa dipakainya jika ia makan di hadapan para
sahabat.
Untuk kepentingan itu, para sahabat bersepakat mengutus Ali bin Abi
Thalib. Alasannya, selain dikenal berani, ia adalah seorang menantu
Rasulullah.
Akan tetapi ketika usulan itu disampaikan kepada Ali, ia malah
menjawab, “Aku tidak berani menyampaikan usul itu kepada Umar. Sebaiknya
kalian menemui para istri Rasulullah sebab mereka adalah ibu bagi kaum
mukminin dan hal itu lebih pantas.”
Atas usul tersebut, para tokoh
sahabat ini mendatangi rumah ‘Aisyah dan Hafsah, keduanya tinggal dalam
satu rumah. Maka ‘Aisyah berkata, “Aku yang akan menyampaikannya kepada
Amirul Mukminin.” Akan tetapi Hafsah (putri Umar bin Khattab) justru
sanksi. Ia berkata, “Menurutku Umar tak mungkin menerima usul tersebut.”
Ketika
keduanya datang ke rumah Umar, ia menyambutnya dengan penuh hormat.
‘Aisyah membuka pembicaraan, “Wahai Amirul Mukminin, bolehkah aku
menyampaikan sesuatu kepadamu?” Boleh, jawab Umar.
Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi
Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah wafat dan telah kembali ke
haribaan-Nya sedangkan beliau belum sempat menikmati kesenangan duniawi
sedikitpun. Demikian pula Abu Bakar, khalifah Rasulullah yang telah
menghidupkan sunnah-sunnah beliau, menumpas orang-orang yang keluar dari
Islam, menegakkan pemerintahan dengan adil dan membagikan harta
ghanimah dengan cara yang sama, dan beliau meninggal sebelum sempat
menikmati kesenangan dunia.
Sedangkan engkau, kini telah dibukakan di hadapanmu semua kekayaan
yang telah dimiliki kaisar Romawi dan Parsi. Kini berdatangan
utusan-utusan bangsa Arab dan asing ke hadapanmu, sedangkan kau memakai
jubah ini yang padanya terdapat dua belas tambalan. Alangkah baiknya
jika engkau mau menggantikan jubah usang itu dengan pakaian yang lebih
anggun, sebab Allah telah melimpahkan harta yang berlimpah-ruah di
hadapanmu.”
Mendengar ucapan ini, Umar pun menangis, seraya berkata, Demi Allah,
aku tanya kepadamu, pernahkan Rasulullah kenyang dari roti mewah selama
berhari-hari dalam hidupnya? Pernahkah Rasulullah minta dihidangkan
kepadanya makanan-makanan mewah? Kedua pertanyaan ini selalu dijawab:
tidak! Maka umar pun berkata, “Wahai istri-istri Rasulullah, kalau
kalian saksikan bahwa Rasulullah saw tidak pernah makan dan berpakaian
secara mewah, mengapa kalian berdua datang kepadaku seraya mengusulkan
kepadaku agar aku hidup mewah sepeninggalnya?”
Umar melanjutkan pembicaraanya, “Wahai Hafsah, mengapa engkau suruh
aku hidup mewah, sedangkan engkau tahu walaupun Rasulullah Shalallaahu
'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah diampunkan dosanya yang
terdahulu maupun yang kemudian, namun beliau tetap hidup melarat dan
tetap bersemangat dalam beribadah, baik di waktu siang maupun petang.
Begitulah kehidupan beliau sampai menjelang wafatnya. Demikian pula Abu
Bakar, seorang khalifah Rasulullah yang telah dibukakan di hadapannya
harta yang berlimpah-ruah, namun beliau tetap hidup amat sederhana dan
bersemangat dalam ibadahnya hingga menjelang hari wafatnya. Karena itu
aku akan tetap mengikuti pola hidup sederhana ini hingga hari wafatku,
sebab aku hendak meniru kedua sahabatku yang mulia itu.”
Ketika jawaban Umar itu disampaikan kepada para sahabat, mereka pun
terdiam. Tidak ada satupun di antara mereka yang berani mengusulkan lagi
kepada Umar. Dan Umar tetap dalam kesederhanaannya hingga menemui
ajalnya.
Bagaimana dengan para penerusnya? Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib adalah dua sahabat yang menjadi khalifah sepeninggalnya. Keduanya
melanjutkan kebiasaan pendahulunya. Meskipun Utsman sejak semula kaya
raya, tapi ia tetap memilih gaya hidup sederhana. Ali bin Abi Thalib
yang sejak mudanya menjalani kehidupan sebagai zahid, ketika berkuasapun
tetap zahid. Ia tetap sederhana dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Kita memang bukan Umar, Ali, maupun Abu Bakar. Tetapi pantaslah berkaca kepadanya.*
hy
BalasHapus