Jagalah Pendengaranmu Dari Nyanyian
Dalam kitab shahih al-Bukhari, Imam Bukhari mengatakan, pada hari raya, Aisyah ra menuturkan Rasulllah shallahu alaihi wassalam
mendatangiku. Saat itu aku di rumah bersama dua orang gadis temanku dan
keduanya sedang asyik mendengarkan lagu-lagu peristiwa Bu’ats. Lalu
beliau shallahu alaihi wassalam, langsung membaringkan dirinya
di atas tempat tidur sambil memalingkan dirinya di atas tempat tidur,
seraya memalingkan wajahnya.
Lalu, Abu Bakar datang menegurku, “Nyanyian itu senandung setan, menurut Nabi shallahu alaihi wassalam,” ucapnya.
Hadist di atas mengandung beberapa persoalan yang penting untuk diketahui antara lain:
Peristiwa Buats, peristiwa pertempuran
yang amat sengit antara suku Khazraja dan Aus. Keduanya adalah dua suku
besar di Madinah. Peperangan itu disebut dengan “Peirstiwa Buats”,
adalah karena terjadi di Buats, salah satu daerah di pinggiran kota
Madinah.
Namun, karunia Allah Ta’ala, akhirnya hati kedua suku itu bisa bersatu dalam naungan Islam. Hal ini, ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ
أَنفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مَّا أَلَّفَتْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
وَلَكِنَّ اللّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٦٣﴾
“Dan yang mempersatukan hati mereka, walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. al-Anfal [8] : 63)
Begitulah, kedua suku itu sebenarnya
berasal dari satu keturunan, yaitu al-Azd. Namun, syetan berhasil
meniupkan hawa kedengkian ke dalam jiwa mereka, sehingga terjadilah
perang saudara yang cukup sengit diantara mereka. Tentang peristiwa ini
Aisyah mengatakan, “Peristiwa Bu’ats merupakan peristiwa yang sengaja
dipersembahkan Allah untuk Rasulullah shallahu alaihi wassalam.”
Mengapa demikian?
Karena, atas kebijaksanaan Allah, Rasulullah shallahu alaihi wassalam,
diutus atau diperintahkan berhijrah ke Madinah setelah peristiwa Buats.
Dikisahkan, dalam peristiwa itu suku Aus berperang dan saling membunuh
satu sama lain, sehingga orang-orang tua mereka banyak yang mati
terbunuh dan tinggal tersisa para pemudanya. Ini merupakan karunia
Allah. Pasalnya, bila orang-orang tua masih ada pada saat Rasulullah shallahu alaihi wassalam,
datang di Madinah, bisa jadi mereka saat itu telah melekat unsur-unsur
kejahiliahan, sebagaimana kaum kafir Quraisy. Lain halnya dengan para
generasi muda mereka kebanyakan mereka masih belum begitu terkontaminasi
dengan sisi-sisi negatif kejahiliahan.
Singkatnya, peristiwa Buats merupakan
sejarah kelam dan menyakitkan bagi suku Khazraj dan Aus. Dan kaum Yahudi
selalu berupaya memisahkan hati mereka yang telah disatukan oleh Islam.
Yakni dengan selalu mengungkit kembali peristiwa tersebut untuk mengadu
domba dan membangkitkan emosi kedua belah pihak.
Yang demikian itu, karena kaum Yahudi
mengetahui bahwa suku Aus dan Khazraj akan mudah terpancing emosi,
keduanya manakala diingatkan kembali pada peristiwa itu.
Terkait dengan perkataan Aisyah ra, “Lalu
Abu Bakar datang dan menegurku”. Abu Bakar adalah orang yang paling
mudah marah. Bahkan, Umar ra pernah berkata, “Aku selalu menjaga
kemarahan Abu Bakar”. Namun, demikian Allah Ta’ala mengetahui
keikhlasan, ketaatan, dan ketulusannya dalam beribadah. Karena itulah,
maka Allah pun mengangkat martabatnya menjadi umat Muhammad shallahu alaihi wassalam yang paling mulia.
Syahdan, kebiasaan atau adat penduduk
Habasah dahulu, adalah bermain dan bersenandung di masjid. Dalam
senandung itu, mereka sering mengatakan, “Syahdan, Muhammad adalah hamba
yang shaleh. Syahdan Muhammad adalah hamba yang shaleh”. Perkataan
seperti ini, tentu saja tidak sesuai dengan martabat dan kedudukan
Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Sebab, sebuah syair
mengatakan, “Bukankah sebilah pedang akan berkurang wibawanya, jika
dikatakan, tongkat itu lebih tajam dari pedang”.
Ketika Anda bermaksud memuji orang yang
terhormat misalnya, tetapi Anda berkata kepadanya, “Engkau adalah
manusia…” Apakah ini suatu pujian?
Seperti kita ketahui bersama Muhammad shallahu alaihi wassalam
adalah hamba yang shaleh. Bahkan, ia adalah penghulu atau pemimpinnya
orang-orang yang shaleh diseluruh pelosok dunia ini. Namun, ketika
mendengar senandung itu, beliau shallahu alaihi wassalam ternyata tetap tersenyum.
Dalam riwayat lain disebutkan, ketika
melihat mereka (penduduk Habasyah) itu bermain dan bersenandung di
masjid, Umar ra mengambil kerikil-kerikil masjid dan melempar mereka.
Lalu, ia berkata, “Bukankah ini di masjid Rasulullah?”
Kemudian ia menengok dan melihat Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Maka, ia pun berhenti. Lantas, Rasulullah shallahu alaihi wassalam menghampirinya, dan berkata, “Ya, Umar, biarkanlah mereka”.
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah shallahu alaihi wassalam,
berkata, “Biarkanlah mereka, agar kaum Yahudi mengetahui, bahwa dalam
agama kita terdapat kelonggaran”. Yakni, kemudahan, keringanan dan
toleransi. Mendengar nasihat tersebut, Umar pun pergi meningggalkan
mereka.
Setelah itu, Rasulullah shallahu alaihi wassalam berkata kepada Aisyah, “Apakah kamu ingin melihat pertunjukkan ini?”. Aisyah berkata, “Ya”. Maka Rasulullah shallahu alaihi wassalam
menaruh Aisyah dibelakang punggungnya. Lalu Aisyah menempelkan pipinya
ke pipi Rasulullah shallahu alailhi wassalam sambil melihat pertunjukkan
itu. Setelah beberapa lama, Rasulullah shallahu alaihi wassalam bertanya kepadanya, “Sudah puaskah kamu? “Sudah”, jawab Aisyah. Maka Rasullullah shallahu alaihi wassalam berdiri. Lantas, Aisyah pun pergi seraya membenarkan cadarnya.
Hari Raya kaum Muslimin itu ada dua: Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Anas menuturkan, ketika Rasulullah shallahu alaihi wassalam datang di Madinah, para penduduknya telah memiliki dua hari khusus untuk bersenang-senang. Maka beliau shallahu alaihi wassalam. Maka beliau shallahu alaihi wassalam,
bertanya pada mereka, “Hari apakah kedua hari ini?”. Mereka menjawab,
“Kami biasa bermain-main dalam kedua hari itu pada masa jahiliah”. Maka,
Rasulullah berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengganti kedua
hari ini untuk kalian dengan yang dua hari yang lebih baik: Hari Raya
Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri”.
Jadi, hari raya bagi umat Islam adalah
Idul Adha dan Idul Fitri. Karenanya, barangsiapa membuat
perayaan-perayaan baru di luar kedua hari raya ini, dan kemudian
mengkultuskan dan mengagung-agungkannya, niscaya ia telah berbuat
kesalahan dan mengada-ada. Singkatnya, sebagai umat Islam, kita tidak
mengenal Hari Ibu, Hari Anak, Hari Nasional, dan Hari Natal, dan Hari
Tahun Baru Masehi, yang semuanya itu, tidak dibenarkan dalam agama
Islam.
Sedangkan hari Jum’at, bisa juga disebut
sebagai hari raya kecil bagi umat Islam. Karena itu, agungkanlah hari
Jum’at dengan berdzikir, membaca Al-Qur’an dan melaksanakan shalat
Jum’at yang disyariatkan dalam agama Islam.
Di dalam Islam diperbolehkan bersuka ria
dan bersenang-senang dengan permainan yang mubah pada hari raya.
Misalnya, menyenandungkan syair-syair tanpa iringan gendang, seruling,
gitar dan lain sebagainya. Diperbolehkan juga merayakan hari raya dengan
berwisata, berekreasi, bersenda gurau, bercanda, bercengkerama, dan
berpesta makanan ala kadarnya. Itulah bentuk-bentuk keceriaan dan
kesukariaan yang diajarkan oleh para ulama.
Kemudian, muncul pertanyaan, apakah nyanyian itu diperbolehkan apa tidak?
Yang benar, bahwa nyanyian yang diiringi
dengan alat-alat musik, seruling, gitar, gendang, biola, dan sejenisnya
adalah hukumnya haram.
Rasulullah shallahu alahi wassalam,
menegaskan keharamannya ini dalam hadist-hadistnya. Adapun dalam
Al-Qur’an, haramnya nyanyian (lagu-lagu) ini diisyaratkan oleh
firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي
لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿٦﴾
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokkan.”(QS. Lukman [31] : 6)
Yang dimaksud dengan perkataan yang tidak
berguna oleh ayat di atas, tak lain adalah lagu-lagu, atau nyanyian.
Tentang hal ini, Ibnu Mas’ud menegaskan, “Aku bersumpah atas nama Allah,
bahwa yang dimaksud itu adalah nyanyian (nyanyian)”. Dalam shahih
Bukhari, saat mengomentari pendapat Abu Malik al-Asyari, Imam Bukhari
menuturkan, “Rasullulah shallahu alaihi wassalam, bersabda, ‘Beberapa
kaum dari umatku kelak akan menghalalkan pakaian sutera, minuman keras,
riba, dan alat-alat musik’.” Dalam penghalalan ini, terjadi setelah
jelas diharamkan oleh agama. Jadi, betapapun, beberapa hal itu tetap
haram.
Menurut Ibnu Mas’ud, nyanyian itu
menumbuhkan kemunafikan di dalam hati manusia sebagaimana air hujan
menumbuhkan biakkan cendawan. Karena itu, seorang mukmin diharamkan
mempergunakan kedua telinganya untuk mendengarkan nyanyian yang diiringi
dengan suara-suara alat musik, kendang, biola, gitar, drum, seruling
dan sejenisnya.
Apalagi seorang wanita . Nyanyian atau
bernyanyi dengan diiringi suara alat musik itu sangat diharamkan dan
tercela. Maka itu, marilah kita memohon perlindungan dan keselamatan
dari Allah agar terlindung dari semau itu.
Hakikatnya, nyanyian itu bisa melalaikan
seseorang berdzikir kepada Allah, membutakan hati, menjauhkan ruh dari
ketaatan , menghambat tujuan, dan dapat menyeret manusia pada perbuatan
zina dan keji.
Umar bin Abdul Aziz berkata kepada
anak-anaknya, “Jauihilah nyanyian, karena ia akan mendekatkan perbuatan
zina!”. Sementara itu, Uqbah bin Amir menasihati anak-anaknya sebagai
berikut, “Jauhilah nyanyian-nyanyian, sebab ia akan melalaikan kalian
dari Al-Qur’an dan menghalang-halangi dari mentaati Allah”.
Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di
dalam hati. Pasalnya, orang yang selalu mendengarkan lagu-lagu
(nyanyian) setiap pagi dan petang, niscaya pada diri orang itu akan
terlihat kemunafikan. Paling tidak, ia akan memperlihatkan
kebaikan-kebaikannya dalam menyembunyikan kejelekan-kejelekannya
dihadapan orang lain. Dan itu itu disebabkan oleh nyanyian.
Nyanyian menimbulkan keasingan pada diri
seorang hamba terhadap Tuhannya. Kalau sudah demikian, niscaya ia tidak
akan memiliki semangat sedikit pun untuk berdzikir kepada Allah dan juga
membawa Al-Qur’an. Yakni, sebagaimana dilukiskan Ibnu Qayyim dalam
syairnya:
“Mereka memperhatikan Al-Qur’an kala
dialunkan, bukan karena takut, melainkan hanya berpura-pura, namun saat
nyanyian dilagukan, mereka berjoget. Sungguh, tak sedikit mereka
bersujud demi Allah”.
Orang-orang yang suka bernyanyi dan
mendengarkan lagu-lagu menganggap keindahan lagu-lagu itu segalanya.
Karena itu, mereka tak bisa merasakan keindahan dan bergetar sedikitpun
saat al-Qur’an dibaca. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar