Kontroversi Ba’asyir : Jihad Melawan Opini “Fitnah” Global
Penangkapan Ustadz Abu benar-benar
menggegerkan jagat politik Indonesia. Betapa tidak, selain perlakuan
sangat kasar dari aparat Densus 88 terhadap ulama kharismatis yang
namanya telah mendunia itu, juga penangkapannya ternyata hasil dari
operasi intelijen polisi yang penuh dengan fitnah terhadap Ustadz Abu
yang menginjak usia sepuh 72 tahun tersebut.
Ustadz Ba’asyir mungkin tak pernah
menduga, jika di usia senjanya saat ini, ia harus menghadapi cobaan
sangat berat : dituduh sebagai teroris internasional. Potretnya
menghiasi media nasional dan internasional. Kini ia di cap sebagai
teroris dan bahkan dianggap sebagai most wanted No.2 oleh AS
setelah Usamah bin Ladin. Lebih dari sosok Saddam Hussein yang ‘hanya’
merepresentasikan bentuk pembangkangan pemerintah Irak terhadap AS
(hal.32).
Buku ini, menawarkan perspektif yang
berbeda. Dengan menyitir pendapat Herbert Strentz dalam News Reporters
and News Sources (1989), “Terorisme bukanlah fenomena yang mewarnai abad
ke-20, tetapi tindakan ini kian menonjol karena liputan media berita”
(hal. 28). Penulis ingin menegaskan bahwa media massa juga turut andil
besar dalam stigmatisasi seseorang sebagai teroris atau tidak.
Pendeknya, seperti yang tercantum dalam subjudul buku ini, Ba’asyir berada dalam opini “fitnah” global dari jaringan konspirasi media dunia. Pertanyaannya adalah, siapakah yang bermain dibalik semua itu ?
Aroma rekayasa atas kasus Ustadz Abu
Bakar Ba’asyir ini memang sudah terasa sejak lama. Rupanya sang Ustadz
yang guru agama ini masih laku dijual oleh penguasa Indonesia kepada
tuan mereka di Amerika.
Bagi para antek-antek Amerika yang ada di
Indonesia, sosok guru agama dan da’i ini, layak untuk dijadikan simbol
dalam proyek untuk mendapatkan uang yang diberi judul pemberantasan
terorisme. Proyek ini mendapat dukungan penuh dari media massa, yang
sudah dijadikan alat oleh Amerika melalui USIA (United State Information
Agency), sebuah lembaga pripagan di bawah Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat, yang di berbagai Negara bermarkas di Kedutaan Amerika
Serikat.
Apa yang dilakukan oleh media massa
Indonesia akhir-akhir ini dalam issue terorisme, Pluralisme dan
liberalisme bersama-sama dengan institusi negara, adalah merupakan
sebuah bentuk propaganda. Menurut Nancy Snow, penulis buku ”Propaganda
Inc : Menjual Budaya Amerika ke Dunia”, ada tiga karekteristik
propaganda. (1) Komunikasi yang disengaja dan dirancang untuk mengubah
sikap orang yang menjadi sasaran, (2) Komunikasi yang menguntungkan bagi
si pelaku propaganda untuk memajukan kepentingan dirinya, contohnya
adalah : periklananan, humas dan kampanye politik, dan (3) Komunikasi
tersebut biasanya dilakukan satu arah.
Sebagaimana kita ketahui bersama, yang paling berkepentingan dalam issue
terorisme, pluralisme dan liberalisme adalah Amerika Serikat dan
agen-agen mereka yang ada di Indonesia. Untuk menjalankan agenda
tersebut, maka Amerika Serikat melakukan perang informasi, rekrutmen
agen dan membangun jaringan sel. Amerika Serikat mempunyai lembaga
propaganda yang diberi nama Committee for Public Information (CPI), yang
didirikan pada 1917 di tengah berkecamuknya Perang Dunia I. CPI sangat
berhasil dalam misinya, yaitu membangun citra negatif musuh Amerika dan
sekutu dan sebaliknya membangun citra positif sebagai pembebas bagi diri
mereka, sehingga kemudian Amerika membentuk lembaga yang lebih permanen
yang diberi nama United State Information Agency (USIA).
Badan ini (USIA) difungsikan untuk
melakukan propaganda kebaikan Amerika dengan cara mengekspor kebudayaan,
sistem ekonomi dan sistem politik Amerika ke seluruh dunia melalui
berbagai sarana seperti jabatan pos-pos diplimatik, program beasiswa
Fulbright dan Aminef, program kunjungan singkat ke Amerika (visitor
program), program penyebaran informasi dan siaran internasional yang
meliputi jaringan televisi dan radio Voice of America (VOA).
Untuk mengelabui sasaran, maka Amerika menggunakan istilah Public Diplomacy
untuk pengganti istilah propaganda, dan unit pelaksana dinegara-negara
yang menjadi sasaran propaganda ini dinamakan dengan United State for
Information Services (USIS). Secara kelembagaan, USIA ini dalam
menjalankan propagandanya menerima dana pertahun hingga US $ 1 Milyar.
Ironisnya banyak rakyat Amerika yang tidak mengetahui sama sekali
keberadaan badan ini, karena memang keberadaan badan ini dirahasiakan
secara ketat dari pengetahuan publik.
Bentuk propaganda yang paling menghasut
biasanya dilakukan dengan cara saling mempertentangkan dan
mengkonfrontasi pernyataan-pernyataan para pemimpin masyarakat dan umat,
sehingga menjadi sensasi di media massa dengan siaran nasional dan
internasinal serta diperluas oleh jaringan media massa yang berada satu
sisi secara ideologi dan politik dengan leberalisme sekulerisme.
Dalam menjalankan mesin propagandanya, AS
menggunakan badan intelijen CIA dan institusi USIS / USIA. Salahsatu
propaganda pada tingkat global yang digunakan AS adalah CNN. Maka
tayangan langsung CNN atas peristiwa 11/9 terkesan kuat merupakan bagian
dari kegiatan terorisme negara yang sebenarnya adalah suatu skenario
dari Bush dengan mengutuk aksi teror WTC dan Pentagon. Jadi kelas
berita-berita yang ditayangkan CNN itu termasuk kategori Black
Propaganda, lempar batu sembunyi tangan.
Operasi itu telah disiapkan dengan
matang, dengan sasaran jangka pendek, bahkan jangka menengah dan
panjang. Maksud dan tujuan sasaran jangka pendek itu adalah untuk
membangkitkan kebencian rakyat Amerika dan sekutunya terhadap umat Islam
yang diberi label “teroris”, membangun opini global tentang adanya
musuh bersama yang harus diperangi, seperti ucapan Bush setelah
terjadinya peristiwa 11/9: “If you are not with us, you’re against us.”
Di Indonesia propaganda tersebut
dilakukan melalui jalur resmi Kedutaan Besar AS di Jakarta, Konsulat
Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan. Salah satu isu yang menjadi
alat propaganda Amerika untuk memusuhi Islam adalah isu-isu kebebasan
beragama. Salah satu cara kerja yang efektif untuk menekan Pemerintah
Indonesia agar memberangus Islam kaffah adalah dengan melakukan
pertemuan secara berkala dengan pejabat Indonesia dan mendorong pejabat
Kedutaan lain untuk membahas masalah ini dengan pemerintah.
Selain itu juga para staf Kedubes di
semua level sering bertemu dengan para pemuka agama dan advokat hak
asasi manusia untuk meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan
beragama. Staf Kedubes juga secara rutin mengadakan pertemuan dengan
para ”pimpinan ormas Islam” untuk menjelaskan kebijakan AS dan membahas
toleransi antarumat beragama serta isu-isu lain.
Dalam laporan tahunan yang dikeluarkan
oleh Kedubes AS di Indonesia tahun 2007 yang lalu misalnya, mereka
mengakui sendiri bahwa AS memang menggarap, baik Pemerintah maupun
kalangan civil society seperti LSM dan ormas Islam untuk
dijadikan objek propaganda agar sesuai dengan kepentingan AS atau tidak
menentang kepentingan AS dan sebisa mungkin dapat menjadi agen atau
antek AS dalam mempropagandakan nilai-nilai sekulerisme, pluralisme dan
liberalisme.
Dalam laporan tersebut mereka menamakan
propaganda mereka sebagai “mempromosikan pluralisme dan toleransi
melalui program-program pertukaran dan masyarakat madani”. Dalam
pelaksanaan proyek liberalisasi ini Kedubes melaporkan bahwa “Sebanyak
213 warga Indonesia telah mengunjungi Amerika Serikat dalam program
jangka pendek, termasuk melihat peran agama di masyarakat dan politik
AS. Para peserta program mengalami langsung bagaimana pluralisme agama,
dialog antaragama, dan multikulturalisme menjadi bagian integral dalam
masyarakat yang demokratis”.
Bagi Amerika Serikat, Terorisme bukan
saja fenomena yang mengancam kepentingan mereka, namun Amerika
menyimpulkan bahwa akar dari Terorisme adalah ideologi yang anti
demokrasi, anti sekulerisme, anti pluralisme dan anti liberalisme. Maka
untuk menghadapi terorisme, selain dengan menggunakan Hard Power (kekuatan fisik) dengan membentuk Densus 88, cara-cara soft power (cara halus/perang informasi) juga dilakukan oleh Amerika melalui propaganda.
Dalam konteks Ustadz Ba’asyir, disadari atau tidak, media dapat masuk “perangkap” sumber berita tertentu yang punya “hidden agenda”
(agenda tersembunyi) lebih luas. Dengan sumber berita yang terbatas dan
sulit diakses biasanya media cenderung memanfaatkan sumber berita
resmi, baik yang bersumber dari agen-agen resmi pemerintah maupun
agen-agen yang sedang menekan atau berkolaborasi dengan pemerintah.
Konsekuensinya, media seperti ini
cenderung mengembangkan budaya jurnalisme yang dikenal sebagai
jurnalisme pispot (hal 29). Yakni media dan para jurnalisnya menerima
informasi bergitu saja dari sumber berita tanpa mengecek kembali
kebenaran dan keabsahannya, sehingga menjadi alat propaganda praktis.
Kritikus media Edwind Diamond (1985) menyebutnya sebagai Terrorvision
atau Terorisme Media.
Berlatar belakang kesamaan pengalaman
sebagai jurnalis dan editor buku-buku Islam, dua penulis ini melakukan
penelitian literatur dan analisis media terhadap propaganda yang
memojokkan Ba’asyir. Hasil penelitiannya itu kemudian diklasifikasikan
kedalam empat bab utama, yaitu sosok pribadi Ba’asyir, penghancuran
karakter Ba’asyir, misteri yang menyelimuti Ba’asyir, dan skenario
Ba’asyirisasi tokoh-tokoh umat. Dan sebagai penutup, buku ini dilengkapi
dengan paparan visioner pergulatan batin penulis sebagai pekerja media,
berupa ide Media Literacy atau Melek Media.
Seperti apa sesungguhnya sosok Ba’asyir ?
Buku ini melukiskan, bahwa orang-orang dekat Ba’asyir menyebut sosok
Amir MMI ini sebagai pribadi yang sederhana, bahkan sangat sederhana,
lembut, namun tegas dalam berpendirian. Bisa dikatakan, Ba’asyir tidak
memiliki harta berharga apa-apa. Rumah minus kursi tamu, yang ia diami
pun adalah aset ponpes Al-Mukmin. Barang berharga yang dimilikinya
barangkali hanya kitab-kitab agama dan seperangkat komputer sebagai alat
vitalnya berdakwah.
Alumnus Gontor ini juga terkenal akan
kelembutannya. Ia dikenal sebagai kyai yang tidak pernah mengajarkan
radikalisme atau melakukan aksi kekerasan. Santrinya bahkan pernah
mengira Ba’asyir seorang penakut karena terlalu halus dan jauh dari
kekerasan (hal 33).
Lalu, mengapa ia menjadi target perburuan
? Banyak motif. Salah satunya menurut ZA Maulani, Ba’asyir hanyalah
kambing hitam dari skenario AS menghegemoni dunia Islam. Dan kebetulan
Ba’asyir mempunyai bad record dalam data intelejen Indonesia,
saat ia melawan rezim Orde baru yang memaksakan azas tunggal Pancasila.
Ia menganggap penerapan azas tunggal itu merupakan suatu kezhaliman.
Menurutnya, kalau sesuatu dipaksakan, dimana letak kebebasannya ?
Dalam perspektif Ba’asyir sendiri,
seperti yang sempat terekam pada jumpa pers 18 Oktober 2002, ia
mengatakan, ” Oleh karena itu, saudara boleh lihat bahwa definisi teror
dimonopoli oleh AS. Yang disebut teror oleh mereka adalah semua penegak,
mujahid yang akan menegakkan syariat Islam. Termasuk diri saya ini.
Jadi saya akan dikorbankan itu bukan karena memerintahkan orang
mengebom. Saya jadi korban karena saya ingin menegakkan syariat Islam
dengan sempurna.” Bahkan, ia menilai bahwa Al-Qaidah adalah organisasi
buatan AS yang digunakan sebagai kamuflase teror untuk menyudutkan
kelompok Islam (hal.45).
Ba’asyir kemudian menjadi bulan-bulanan
komentar, pemberitaan, dan analisis jurnalis media massa internasional.
Tidak hanya bagi publik AS, di Indonesia sendiri, Ba’asyir dicitrakan
sebagai sosok seorang teroris. Sebuah media yang cukup disegani di
Indonesia bahkan mampu menggiring opini publik untuk mengatakan iya
ketika menurunkan cover “Diakah Sang Imam ?” Maka, terjadilah trial by the press (pengadilan oleh media massa) yang merupakan salah satu kasus paling menonjol di dunia pers.
Kesaksian kontroversial Al-Faruq yang
dipublikasikan Time dan menjadi bahan rujukan banyak media pada akhirnya
mengakibatkan penghancuran karakter Ba’asyir hingga titik nadhir.
Prinsip azas praduga tak bersalah sudah tak lagi menjadi relevan. Begitu
juga dengan pemberitaan miring media lainnya. Seperti The Washington
Post (11/01/2002) yang menurunkan tulisan intelejen AS, Rajiv
Chandrasekaran yang mensinyalir adanya keterkaitan Al-Qaidah, Laskar
Jihad, dan kelompok Ba’asyir sebagai jaringan terorisme di Indonesia.
Pendeknya, seperti yang tercantum dalam
subjudul buku ini, Ba’asyir berada dalam opini “fitnah” global dari
jaringan konspirasi media dunia. Pertanyaannya adalah, siapakah yang
bermain dibalik semua itu ?
Presiden EURO (European-American Unity
and Rights Organization), David Duke dalam artikelnya Who Runs The Media
(2001) memberikan jawaban dengan mensinyalir bahwa media-media paling
berpengaruh di AS dan menjadi rujukan dunia : The New York Times, The
Washington Post, dan The Wall Street Journal dibawah pengaruh Yahudi.
Termasuk juga tiga majalah utama : Time, Newsweek, dan US News and World
Report dan media penyiaran utama Amerika seperti Time-Warner dan
Disney, serta jaringan berita ABC, CBS, dan NBC, yang lalu merger dengan
MSN menjadi MSNBC.
Karena itulah, sebagai alat perlawanan, penulis merekomendasikan agar Media Literacy
atau Melek Media menjadi salah satu program pencerahan masyarakat di
masa mendatang. Melek Media dimaksudkan untuk mendidik khalayak supaya
senantiasa bersikap kritis terhadap informasi apapun yang diperoleh dari
media. Ia juga memiliki agenda yang jelas yaitu untuk melakukan
perlawanan terhadap agenda yang terselubung dibalik media. Merujuk pada
Chomsky, filter untuk mengontrol pesan media itu, dimulai dari
kekritisan terhadap ukuran media, orientasi profit, kepemilikan media,
para pengiklan, sumber-sumber media, dan kelompok penekan, serta
ideologi.
Secara keseluruhan, walaupun buku ini tak
mewancarai Ba’asyir secara langsung sebagai subyek utama pembahasan
buku ini, dapat dikatakan buku ini berhasil melakukan misinya. Yaitu
memberikan wacana alternatif agar khalayak lebih kritis dan arif dalam
menilai Abu Bakar Ba’asyir dan isu-isu terorisme pada umumnya.
Sumber Buku : Kontroversi Ba’asyir : Jihad Melawan Opini “Fitnah” GlobalPenulis Idi Subandy Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli
Penerbit Nuansa, Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar