Powered By Blogger

Senin, 12 November 2012

Kontroversi Ba’asyir : Jihad Melawan Opini “Fitnah” Global

Penangkapan Ustadz Abu benar-benar menggegerkan jagat politik Indonesia. Betapa tidak, selain perlakuan sangat kasar dari aparat Densus 88 terhadap ulama kharismatis yang namanya telah mendunia itu, juga penangkapannya ternyata hasil dari operasi intelijen polisi yang penuh dengan fitnah terhadap Ustadz Abu yang menginjak usia sepuh 72 tahun tersebut.
Ustadz Ba’asyir mungkin tak pernah menduga, jika di usia senjanya saat ini, ia harus menghadapi cobaan sangat berat : dituduh sebagai teroris internasional. Potretnya menghiasi media nasional dan internasional. Kini ia di cap sebagai teroris dan bahkan dianggap sebagai most wanted No.2 oleh AS setelah Usamah bin Ladin. Lebih dari sosok Saddam Hussein yang ‘hanya’ merepresentasikan bentuk pembangkangan pemerintah Irak terhadap AS (hal.32).
Buku ini, menawarkan perspektif yang berbeda. Dengan menyitir pendapat Herbert Strentz dalam News Reporters and News Sources (1989), “Terorisme bukanlah fenomena yang mewarnai abad ke-20, tetapi tindakan ini kian menonjol karena liputan media berita” (hal. 28). Penulis ingin menegaskan bahwa media massa juga turut andil besar dalam stigmatisasi seseorang sebagai teroris atau tidak.

Pendeknya, seperti yang tercantum dalam subjudul buku ini, Ba’asyir berada dalam opini “fitnah” global dari jaringan konspirasi media dunia. Pertanyaannya adalah, siapakah yang bermain dibalik semua itu ?

Aroma rekayasa atas kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asyir ini memang sudah terasa sejak lama. Rupanya sang Ustadz yang guru agama ini masih laku dijual oleh penguasa Indonesia kepada tuan mereka di Amerika.
Bagi para antek-antek Amerika yang ada di Indonesia, sosok guru agama dan da’i ini, layak untuk dijadikan simbol dalam proyek untuk mendapatkan uang yang diberi judul pemberantasan terorisme. Proyek ini mendapat dukungan penuh dari media massa, yang sudah dijadikan alat oleh Amerika melalui USIA (United State Information Agency), sebuah lembaga pripagan di bawah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang di berbagai Negara bermarkas di Kedutaan Amerika Serikat.
Apa yang dilakukan oleh media massa Indonesia akhir-akhir ini dalam issue terorisme, Pluralisme dan liberalisme bersama-sama dengan institusi negara, adalah merupakan sebuah bentuk propaganda. Menurut Nancy Snow, penulis buku ”Propaganda Inc : Menjual Budaya Amerika ke Dunia”, ada tiga karekteristik propaganda. (1) Komunikasi yang disengaja dan dirancang untuk mengubah sikap orang yang menjadi sasaran, (2) Komunikasi yang menguntungkan bagi si pelaku propaganda untuk memajukan kepentingan dirinya, contohnya adalah : periklananan, humas dan kampanye politik, dan (3) Komunikasi tersebut biasanya dilakukan satu arah.
Sebagaimana kita ketahui bersama, yang paling berkepentingan dalam issue terorisme, pluralisme dan liberalisme adalah Amerika Serikat dan agen-agen mereka yang ada di Indonesia. Untuk menjalankan agenda tersebut, maka Amerika Serikat melakukan perang informasi, rekrutmen agen dan membangun jaringan sel. Amerika Serikat mempunyai lembaga propaganda yang diberi nama Committee for Public Information (CPI), yang didirikan pada 1917 di tengah berkecamuknya Perang Dunia I. CPI sangat berhasil dalam misinya, yaitu membangun citra negatif musuh Amerika dan sekutu dan sebaliknya membangun citra positif sebagai pembebas bagi diri mereka, sehingga kemudian Amerika membentuk lembaga yang lebih permanen yang diberi nama United State Information Agency (USIA).
Badan ini (USIA) difungsikan untuk melakukan propaganda kebaikan Amerika dengan cara mengekspor kebudayaan, sistem ekonomi dan sistem politik Amerika ke seluruh dunia melalui berbagai sarana seperti jabatan pos-pos diplimatik, program beasiswa Fulbright dan Aminef, program kunjungan singkat ke Amerika (visitor program), program penyebaran informasi dan siaran internasional yang meliputi jaringan televisi dan radio Voice of America (VOA).
Untuk mengelabui sasaran, maka Amerika menggunakan istilah Public Diplomacy untuk pengganti istilah propaganda, dan unit pelaksana dinegara-negara yang menjadi sasaran propaganda ini dinamakan dengan United State for Information Services (USIS). Secara kelembagaan, USIA ini dalam menjalankan propagandanya menerima dana pertahun hingga US $ 1 Milyar. Ironisnya banyak rakyat Amerika yang tidak mengetahui sama sekali keberadaan badan ini, karena memang keberadaan badan ini dirahasiakan secara ketat dari pengetahuan publik.
Bentuk propaganda yang paling menghasut biasanya dilakukan dengan cara saling mempertentangkan dan mengkonfrontasi pernyataan-pernyataan para pemimpin masyarakat dan umat, sehingga menjadi sensasi di media massa dengan siaran nasional dan internasinal serta diperluas oleh jaringan media massa yang berada satu sisi secara ideologi dan politik dengan leberalisme sekulerisme.
Dalam menjalankan mesin propagandanya, AS menggunakan badan intelijen CIA dan institusi USIS / USIA. Salahsatu propaganda pada tingkat global yang digunakan AS adalah CNN. Maka tayangan langsung CNN atas peristiwa 11/9 terkesan kuat merupakan bagian dari kegiatan terorisme negara yang sebenarnya adalah suatu skenario dari Bush dengan mengutuk aksi teror WTC dan Pentagon. Jadi kelas berita-berita yang ditayangkan CNN itu termasuk kategori Black Propaganda, lempar batu sembunyi tangan.
Operasi itu telah disiapkan dengan matang, dengan sasaran jangka pendek, bahkan jangka menengah dan panjang. Maksud dan tujuan sasaran jangka pendek itu adalah untuk membangkitkan kebencian rakyat Amerika dan sekutunya terhadap umat Islam yang diberi label “teroris”, membangun opini global tentang adanya musuh bersama yang harus diperangi, seperti ucapan Bush setelah terjadinya peristiwa 11/9: “If you are not with us, you’re against us.”
Di Indonesia propaganda tersebut dilakukan melalui jalur resmi Kedutaan Besar AS di Jakarta, Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan. Salah satu isu yang menjadi alat propaganda Amerika untuk memusuhi Islam adalah isu-isu kebebasan beragama. Salah satu cara kerja yang efektif untuk menekan Pemerintah Indonesia agar memberangus Islam kaffah adalah dengan melakukan pertemuan secara berkala dengan pejabat Indonesia dan mendorong pejabat Kedutaan lain untuk membahas masalah ini dengan pemerintah.
Selain itu juga para staf Kedubes di semua level sering bertemu dengan para pemuka agama dan advokat hak asasi manusia untuk meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Staf Kedubes juga secara rutin mengadakan pertemuan dengan para ”pimpinan ormas Islam” untuk menjelaskan kebijakan AS dan membahas toleransi antarumat beragama serta isu-isu lain.
Dalam laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Kedubes AS di Indonesia tahun 2007 yang lalu misalnya, mereka mengakui sendiri bahwa AS memang menggarap, baik Pemerintah maupun kalangan civil society seperti LSM dan ormas Islam untuk dijadikan objek propaganda agar sesuai dengan kepentingan AS atau tidak menentang kepentingan AS dan sebisa mungkin dapat menjadi agen atau antek AS dalam mempropagandakan nilai-nilai sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.
Dalam laporan tersebut mereka menamakan propaganda mereka sebagai “mempromosikan pluralisme dan toleransi melalui program-program pertukaran dan masyarakat madani”. Dalam pelaksanaan proyek liberalisasi ini Kedubes melaporkan bahwa “Sebanyak 213 warga Indonesia telah mengunjungi Amerika Serikat dalam program jangka pendek, termasuk melihat peran agama di masyarakat dan politik AS. Para peserta program mengalami langsung bagaimana pluralisme agama, dialog antaragama, dan multikulturalisme menjadi bagian integral dalam masyarakat yang demokratis”.
Bagi Amerika Serikat, Terorisme bukan saja fenomena yang mengancam kepentingan mereka, namun Amerika menyimpulkan bahwa akar dari Terorisme adalah ideologi yang anti demokrasi, anti sekulerisme, anti pluralisme dan anti liberalisme. Maka untuk menghadapi terorisme, selain dengan menggunakan Hard Power (kekuatan fisik) dengan membentuk Densus 88, cara-cara soft power (cara halus/perang informasi) juga dilakukan oleh Amerika melalui propaganda.
Dalam konteks Ustadz Ba’asyir, disadari atau tidak, media dapat masuk “perangkap” sumber berita tertentu yang punya “hidden agenda” (agenda tersembunyi) lebih luas. Dengan sumber berita yang terbatas dan sulit diakses biasanya media cenderung memanfaatkan sumber berita resmi, baik yang bersumber dari agen-agen resmi pemerintah maupun agen-agen yang sedang menekan atau berkolaborasi dengan pemerintah.
Konsekuensinya, media seperti ini cenderung mengembangkan budaya jurnalisme yang dikenal sebagai jurnalisme pispot (hal 29). Yakni media dan para jurnalisnya menerima informasi bergitu saja dari sumber berita tanpa mengecek kembali kebenaran dan keabsahannya, sehingga menjadi alat propaganda praktis. Kritikus media Edwind Diamond (1985) menyebutnya sebagai Terrorvision atau Terorisme Media.
Berlatar belakang kesamaan pengalaman sebagai jurnalis dan editor buku-buku Islam, dua penulis ini melakukan penelitian literatur dan analisis media terhadap propaganda yang memojokkan Ba’asyir. Hasil penelitiannya itu kemudian diklasifikasikan kedalam empat bab utama, yaitu sosok pribadi Ba’asyir, penghancuran karakter Ba’asyir, misteri yang menyelimuti Ba’asyir, dan skenario Ba’asyirisasi tokoh-tokoh umat. Dan sebagai penutup, buku ini dilengkapi dengan paparan visioner pergulatan batin penulis sebagai pekerja media, berupa ide Media Literacy atau Melek Media.
Seperti apa sesungguhnya sosok Ba’asyir ? Buku ini melukiskan, bahwa orang-orang dekat Ba’asyir menyebut sosok Amir MMI ini sebagai pribadi yang sederhana, bahkan sangat sederhana, lembut, namun tegas dalam berpendirian. Bisa dikatakan, Ba’asyir tidak memiliki harta berharga apa-apa. Rumah minus kursi tamu, yang ia diami pun adalah aset ponpes Al-Mukmin. Barang berharga yang dimilikinya barangkali hanya kitab-kitab agama dan seperangkat komputer sebagai alat vitalnya berdakwah.
Alumnus Gontor ini juga terkenal akan kelembutannya. Ia dikenal sebagai kyai yang tidak pernah mengajarkan radikalisme atau melakukan aksi kekerasan. Santrinya bahkan pernah mengira Ba’asyir seorang penakut karena terlalu halus dan jauh dari kekerasan (hal 33).
Lalu, mengapa ia menjadi target perburuan ? Banyak motif. Salah satunya menurut ZA Maulani, Ba’asyir hanyalah kambing hitam dari skenario AS menghegemoni dunia Islam. Dan kebetulan Ba’asyir mempunyai bad record dalam data intelejen Indonesia, saat ia melawan rezim Orde baru yang memaksakan azas tunggal Pancasila. Ia menganggap penerapan azas tunggal itu merupakan suatu kezhaliman. Menurutnya, kalau sesuatu dipaksakan, dimana letak kebebasannya ?
Dalam perspektif Ba’asyir sendiri, seperti yang sempat terekam pada jumpa pers 18 Oktober 2002, ia mengatakan, ” Oleh karena itu, saudara boleh lihat bahwa definisi teror dimonopoli oleh AS. Yang disebut teror oleh mereka adalah semua penegak, mujahid yang akan menegakkan syariat Islam. Termasuk diri saya ini. Jadi saya akan dikorbankan itu bukan karena memerintahkan orang mengebom. Saya jadi korban karena saya ingin menegakkan syariat Islam dengan sempurna.” Bahkan, ia menilai bahwa Al-Qaidah adalah organisasi buatan AS yang digunakan sebagai kamuflase teror untuk menyudutkan kelompok Islam (hal.45).
Ba’asyir kemudian menjadi bulan-bulanan komentar, pemberitaan, dan analisis jurnalis media massa internasional. Tidak hanya bagi publik AS, di Indonesia sendiri, Ba’asyir dicitrakan sebagai sosok seorang teroris. Sebuah media yang cukup disegani di Indonesia bahkan mampu menggiring opini publik untuk mengatakan iya ketika menurunkan cover “Diakah Sang Imam ?” Maka, terjadilah trial by the press (pengadilan oleh media massa) yang merupakan salah satu kasus paling menonjol di dunia pers.
Kesaksian kontroversial Al-Faruq yang dipublikasikan Time dan menjadi bahan rujukan banyak media pada akhirnya mengakibatkan penghancuran karakter Ba’asyir hingga titik nadhir. Prinsip azas praduga tak bersalah sudah tak lagi menjadi relevan. Begitu juga dengan pemberitaan miring media lainnya. Seperti The Washington Post (11/01/2002) yang menurunkan tulisan intelejen AS, Rajiv Chandrasekaran yang mensinyalir adanya keterkaitan Al-Qaidah, Laskar Jihad, dan kelompok Ba’asyir sebagai jaringan terorisme di Indonesia.
Pendeknya, seperti yang tercantum dalam subjudul buku ini, Ba’asyir berada dalam opini “fitnah” global dari jaringan konspirasi media dunia. Pertanyaannya adalah, siapakah yang bermain dibalik semua itu ?
Presiden EURO (European-American Unity and Rights Organization), David Duke dalam artikelnya Who Runs The Media (2001) memberikan jawaban dengan mensinyalir bahwa media-media paling berpengaruh di AS dan menjadi rujukan dunia : The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal dibawah pengaruh Yahudi. Termasuk juga tiga majalah utama : Time, Newsweek, dan US News and World Report dan media penyiaran utama Amerika seperti Time-Warner dan Disney, serta jaringan berita ABC, CBS, dan NBC, yang lalu merger dengan MSN menjadi MSNBC.
Karena itulah, sebagai alat perlawanan, penulis merekomendasikan agar Media Literacy atau Melek Media menjadi salah satu program pencerahan masyarakat di masa mendatang. Melek Media dimaksudkan untuk mendidik khalayak supaya senantiasa bersikap kritis terhadap informasi apapun yang diperoleh dari media. Ia juga memiliki agenda yang jelas yaitu untuk melakukan perlawanan terhadap agenda yang terselubung dibalik media. Merujuk pada Chomsky, filter untuk mengontrol pesan media itu, dimulai dari kekritisan terhadap ukuran media, orientasi profit, kepemilikan media, para pengiklan, sumber-sumber media, dan kelompok penekan, serta ideologi.
Secara keseluruhan, walaupun buku ini tak mewancarai Ba’asyir secara langsung sebagai subyek utama pembahasan buku ini, dapat dikatakan buku ini berhasil melakukan misinya. Yaitu memberikan wacana alternatif agar khalayak lebih kritis dan arif dalam menilai Abu Bakar Ba’asyir dan isu-isu terorisme pada umumnya.
Sumber Buku : Kontroversi Ba’asyir : Jihad Melawan Opini “Fitnah” Global
Penulis Idi Subandy Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli
Penerbit Nuansa, Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar